Sabtu, 25 Juni 2011

Gunung Bromo(Gunung Brahma)

Gunung Bromo

Gunung Bromo

Gunung Bromo (latar depan, kawah besar) saat matahari terbit
Ketinggian 2.329 m (7.641 ft) [1]
Daftar Ribu
Lokasi
Gunung Bromo terletak di Indonesia
Gunung Bromo
Koordinat 7°56′30″S 112°57′00″EKoordinat: 7°56′30″S 112°57′00″E [1]
Geologi
Jenis Stratovolcano (aktif)
Letusan terakhir 2010
Gunung Bromo (dari bahasa Sansekerta/Jawa Kuna: Brahma, salah seorang Dewa Utama Hindu), merupakan gunung berapi yang masih aktif dan paling terkenal sebagai obyek wisata di Jawa Timur. Sebagai sebuah obyek wisata, Gunung Bromo menjadi menarik karena statusnya sebagai gunung berapi yang masih aktif.
Bromo mempunyai ketinggian 2.392 meter di atas permukaan laut itu berada dalam empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Kabupaten Malang. Bentuk tubuh Gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai dengan kaldera atau lautan pasir seluas sekitar 10 kilometer persegi.
Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan garis tengah ± 800 meter (utara-selatan) dan ± 600 meter (timur-barat). Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari 4 km dari pusat kawah Bromo.

Sejarah letusan

Selama abad XX, gunung yang terkenal sebagai tempat wisata itu meletus sebanyak tiga kali, dengan interval waktu yang teratur, yaitu 30 tahun. Letusan terbesar terjadi 1974, sedangkan letusan terakhir terjadi pada 2010.
Sejarah letusan Bromo: 2010, 2004, 2001, 1995, 1984, 1983, 1980, 1972, 1956, 1955, 1950, 1948, 1940, 1939, 1935, 1930, 1929, 1928, 1922, 1921, 1915, 1916, 1910, 1909, 1907, 1908, 1907, 1906, 1907, 1896, 1893, 1890, 1888, 1886, 1887, 1886, 1885, 1886, 1885, 1877, 1867, 1868, 1866, 1865, 1865, 1860, 1859, 1858, 1858, 1857, 1856, 1844, 1843, 1843, 1835, 1830, 1830, 1829, 1825, 1822, 1823, 1820, 1815, 1804, 1775, dan 1767.

Bromo sebagai gunung suci

Bagi penduduk Bromo, suku Tengger, Gunung Brahma (Bromo) dipercaya sebagai gunung suci. Setahun sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Upacara ini bertempat di sebuah pura yang berada di bawah kaki Gunung Bromo utara dan dilanjutkan ke puncak gunung Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama sekitar tanggal 14 atau 15 di bulan Kasodo (kesepuluh) menurut penanggalan Jawa.

Jam Gadang

Jam Gadang

Jam Gadang
Jam Gadang di Bukittinggi pada tanggal 14 Maret 2011
Jam Gadang adalah sebutan bagi sebuah menara jam yang terletak di jantung Kota Bukittinggi, Provinsi Sumatera Barat. Jam Gadang adalah sebutan yang diberikan masyarakat Minangkabau kepada bangunan menara jam itu, karena memang menara itu mempunyai jam yang "gadang", atau "jam yang besar" (jam gadang=jam besar; "gadang" berarti besar dalam bahasa Minangkabau).
Sedemikian fenomenalnya bangunan menara jam bernama Jam Gadang itu pada waktu dibangun, sehingga sejak berdirinya Jam Gadang telah menjadi pusat perhatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang dijadikan penanda atau markah tanah Kota Bukittinggi dan juga sebagai salah satu ikon provinsi Sumatera Barat.[1]
Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, Controleur (Sekretaris Kota) Bukittinggi pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dulu. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun.
Denah dasar (bangunan tapak berikut tangga yang menghadap ke arah Pasar Atas) dari Jam Gadang ini adalah 13x4 meter, sedangkan tingginya 26 meter.
Jam Gadang ini bergerak secara mekanik dan terdiri dari empat buah jam/empat muka jam yang menghadap ke empat arah penjuru mata angin dengan setiap muka jam berdiameter 80 cm.
Menara jam ini telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk pada bagian puncaknya. Pada awalnya puncak menara jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan. Saat masuk menjajah Indonesia, pemerintahan pendudukan Jepang mengubah puncak itu menjadi berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.
Pembangunan Jam Gadang ini konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Namun hal itu terbayar dengan terkenalnya Jam Gadang ini sebagai markah tanah yang sekaligus menjadi lambang atau ikon Kota Bukittinggi. Jam Gadang juga ditetapkan sebagai titik nol Kota Bukittinggi. Renovasi terakhir adalah pada tahun 2010 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan dukungan Pemerintah Kota Bukittinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta, dan diresmikan tepat pada ulang tahun kota Bukittinggi yang ke 262 pada tanggal 22 Desember 2010.[2]
Ada satu keunikan dari angka-angka Romawi pada muka Jam Gadang ini. Bila penulisan angka Romawi biasanya mencantumkan simbol "IV" untuk melambangkan angka empat romawi, maka Jam Gadang ini bertuliskan angka empat romawi dengan simbol "IIII" (umumnya IV)

Puisi untuk Ibu Sepanjang Hayat


Mama
Oleh : WS Rendra

Engkau adalah bumi, Mama
aku adalah angin yang kembara

Engkau adalah kesuburan
atau restu atau kerbau bantaian.